Di Balik Layar Penerjemahan: Tips Ringan dari Seorang Linguist

Kalau ditanya pekerjaan apa yang paling sering bikin aku geleng-geleng kepala sekaligus senyum-senyum sendiri, jawabannya pasti penerjemahan. Bukan cuma soal mengubah kata dari bahasa A ke bahasa B, tapi lebih ke seni menyeimbangkan logika, empati, dan sedikit akal bulus agar hasilnya nggak terdengar seperti robot yang baru belajar ngobrol. Ini catatan sehari-hari aku—sedikit curhat, sedikit tips—semoga berguna buat yang baru nyemplung ke dunia translate atau sekadar penasaran.

Konteks dulu, kata nanti

Satu hal yang sering bikin klien kaget atau penerjemah pusing: konteks. Kata itu mirip karet gelang—bisa melar ke mana-mana tergantung ditarik dari mana. Waktu pertama kali nge-translate dokumen medis, ada istilah yang kelihatannya simpel tapi bergantung sama penempatan kalimat. Aku pernah salah memilih padanan kata karena cuma mengandalkan kamus. Pelajaran: jangan tergoda literal. Baca paragraf di sekitar, pahami tujuan teks, siapa pembacanya, dan suasana yang ingin dibangun. Kalau targetnya pembaca awam, jangan pakai istilah klinis yang bikin telinga mereka kabur.

Kapan literal itu pahlawan, kapan penjahat

Ada momen di mana menerjemahkan harfiah itu oke—misal data teknis, angka, nama produk. Tapi di banyak kasus, menerjemahkan perasaan, humor, atau idiom butuh adaptasi. Pernah aku ngadepin joke yang kalau diterjemahin langsung malah jadi kering dan nggak lucu. Solusinya? Ciptakan joke versi lokal atau beri catatan kalau nuansa aslinya musti dipertahankan. Intinya, jaga niat penulis asli tanpa jadi penulis kloning.

Trik CAT: temen baik yang kadang ngeselin

Computer-Assisted Translation tools itu kayak asisten rumah yang manis—bisa bantu hemat waktu tapi kadang juga salah paham. Memanfaatkan memori terjemahan dan termbase itu penting. Buat glossary sendiri untuk klien yang sering datang; percaya deh, itu bakal menyelamatkanmu dari kerepotan memilih istilah yang berbeda-beda tiap halaman. Tapi hati-hati: fitur “replace all” bisa bikin naskah berubah jadi sesuatu yang aneh kalau kamu nggak cek dulu. Jadi, CAT itu power tool—gunakan dengan kepala dingin.

Di sela-sela itu, aku kadang pakai sumber online buat cek frasa yang terdengar ganjil. Kalau mau explore komunitas atau cari penerjemah lain, pernah juga nemu referensi menarik di cevirmenler yang membantu memahami variasi istilah lintas bahasa. Tapi ya, tetap selektif—internet itu lautan informasi, bukan semua ikan bisa dimakan.

Jangan malu nanya, bro (atau sis)

Nah, ini penting: kalau ragu, tanya. Klien yang baik biasanya senang kalau kamu mau klarifikasi, karena itu berarti kamu peduli agar hasilnya sesuai. Kadang pertanyaan simpel bisa menyelamatkan dari salah paham besar. Contoh: apakah “kami” di dokumen itu inklusif semua divisi atau cuma satu tim kecil? Jawaban kecil itu bisa merubah tone keseluruhan terjemahan.

Proofreading itu bukan hantu, itu superhero

Setelah selesai, jangan langsung kirim lalu celebrate dengan kopi. Istirahat dulu 10–15 menit, lalu baca ulang dengan mata fresh. Bacakan keras-keras kalau perlu; banyak kesalahan yang hanya terlihat saat didengar. Cek juga konsistensi istilah, format angka, tanda baca, dan gaya penulisan. Kalau bisa, minta rekan untuk second pair of eyes—dua kepala kadang lebih peka dari satu.

Perawatan jiwa penerjemah

Terjemahan bukan cuma kompetensi teknis; stamina mental juga kunci. Kerjain proyek berat dengan jeda, jalan-jalan bentar, atau dengerin playlist yang bikin mood stabil. Jangan lupa rajin baca—bukan cuma kamus, tapi novel, artikel, caption lucu di sosmed; semua itu memperkaya feel bahasa. Dan kalau ada hari di mana semua kata terasa bebal, relakso dulu. Besok biasanya kata-kata itu balik lagi, siap dipaksa kerja dengan lebih sopan.

Akhir kata, jadi penerjemah itu seperti jadi jembatan antara dua dunia—kadang anggun, kadang goyang karena traffic. Yang penting, nikmati prosesnya, tetap belajar, dan jangan takut menambahkan sentuhan manusiawi pada setiap terjemahan. Nanti kalau sudah lama, kamu bakal punya stok cerita lucu dan blunder yang bisa diceritain ke penerjemah lain sambil ngopi. Selamat menerjemah—jangan lupa senyum, biar pembaca juga ngerasain hangatnya kata-katamu.

Leave a Comment