Diari Penerjemah: Tips Santai Mengulik Linguistik dan Trik Menerjemah

Diari kecil: aku nggak pernah menyangka bakal jatuh cinta sama kata-kata. Dulu aku cuma tukang ketik yang doyan baca, sekarang lebih sering disebut penerjemah. Dunia penerjemahan itu luas, kadang mirip teka-teki, kadang seperti konser kecil antara bahasa sumber dan bahasa target. Di artikel ini aku mau berbagi pengalaman, tips santai, dan sedikit linguistik yang sering kupakai—biar nggak kaku, yah, begitulah.

Kenalan dulu: kenapa konteks itu raja?

Satu hal yang sering kutemui adalah klien ngasih file tanpa konteks. Terjemahan kata per kata bisa berhasil di level leksikal, tapi hilang di level pesan. Aku selalu baca keseluruhan dokumen dulu: siapa pembaca, tujuan teks, nada (formal, santai, teknis), dan ada referensi visual apa nggak. Ini kayak memasak; bahan-bahannya sama, tapi bumbu dan cara masak menentukan rasa akhir.

Trik praktis: ritual sebelum mulai ngetik

Ada ritual kecil yang selalu kulakukan sebelum buka dokumen. Pertama, buat glossary singkat — istilah teknis, nama produk, dan istilah yang sering berulang. Kedua, tandai false friends dan idiom yang nggak bisa diterjemahkan mentah-mentah. Ketiga, buka mesin pencari korpus atau forum penerjemah kalau perlu. Kadang aku juga cek komunitas online, misalnya cevirmenler, buat lihat bagaimana rekan lain mengatasi istilah yang nyangkut.

Ngomong-ngomong soal kata yang bandel

Kalau ketemu idiom, sarkasme, atau permainan kata, jangan panik. Pilih opsi: adaptasi, menjelaskan, atau menukar dengan idiom setara di bahasa target. Dulu aku menerjemahkan caption iklan yang penuh permainan kata—kulit copy aslinya lucu, tapi kalau langsung diterjemahkan malah kering. Solusinya? Buat versi baru yang masih memelihara rasa humornya, bukan sekadar kata demi kata. Ini bagian kreatif yang paling menyenangkan.

Linguistik: sedikit teori supaya nggak ngawur

Sebagai penerjemah kita sering main di ranah semantik (arti kata), pragmatik (makna tergantung konteks), dan sosiolinguistik (register, identitas pembicara). Memahami perbedaan ini membantu saat harus memilih kata yang tepat. Contohnya, memilih antara kata baku dan non-baku nggak cuma soal “benar” atau “salah” — tapi soal apakah pembaca akan merasa dekat atau dijauhkan dari teks.

Tools? Ya, tapi jangan lupa otak

CAT tools seperti Trados, memoQ, atau aplikasi lain memang membantu menjaga konsistensi istilah dan mempercepat kerja. Aku juga pakai mesin terjemah untuk draf awal kalau deadline mepet, lalu post-edit. Tapi alat adalah pembantu, bukan otak. Selalu baca ulang dengan telinga pembaca: apakah kalimat mengalir alami? Apakah ada bahasa janggal yang terjemahan mesin sering hasilkan?

Detail kecil yang sering terlewat

Perhatikan tanggal, angka, satuan, URL, dan nama khusus. Kesalahan di bagian ini bisa fatal, terutama untuk dokumen hukum atau teknis. Biasakan checklist: cek unit pengukuran, format tanggal sesuai target audiens, dan pastikan tidak ada link rusak. Juga, baca keras-keras sekali sebelum kirim—sering kali kesalahan muncul ketika mendengar kalimat keluarnya aneh.

Perbaikan berulang: revisi itu sahabat

Setelah selesai satu draft, berikan jeda. Aku biasanya revisi keesokan harinya dengan mata yang segar. Untuk proyek besar, back-translation (menerjemahkan kembali ke bahasa sumber) bisa membantu mengecek akurasi makna. Jangan takut minta feedback klien; kadang mereka memberi konteks tambahan yang mengubah pilihan kata yang lebih cocok.

Akhir kata, jadi penerjemah itu belajar terus-menerus: dari kamus lama, korpus online, hingga ngobrol bareng penerjemah lain di kafe atau forum. Kadang pekerjaanku terasa seperti jadi detektif: mencari petunjuk makna tersembunyi; kadang seperti seniman: memilih warna kata yang pas. Kalau kamu tertarik, coba mulai dengan proyek kecil, catat istilah, dan nikmati prosesnya. Yah, begitulah perjalanan kecilku di dunia kata—kadang rumit, kadang manis, selalu penuh pelajaran.