Di Balik Layar Penerjemahan: Tips, Salah Kaprah, dan Keajaiban Bahasa

Pagi ini, sambil menyeruput kopi anget yang rasanya lebih mirip air sabun daripada espresso, aku kepikiran lagi dunia penerjemahan. Bukan cuma soal mengganti kata A jadi kata B, tapi seperti membuka kotak musik yang isinya bahasa, budaya, dan—kadang—drama kecil. Aku menulis ini sambil berharap yang baca paham bahwa jadi penerjemah itu ibarat jadi dukun kata: harus peka, sabar, dan sedikit nyeleneh.

Mulai dari yang gampang: apa sih kerjaan penerjemah?

Kebanyakan orang mikir penerjemah cuma duduk, buka kamus, terus ketik. Kalau saja! Realitanya kita berhadapan dengan teks yang suka nyengir: idiom, jargon teknis, bahkan lelucon lokal yang mustahil diterjemahkan secara literal. Ada momen-momen manis ketika sebuah kalimat sederhana terasa seperti teka-teki silang—gantinya kepuasan kita dapat, bukan sekadar uang. Tips pertama: pahami konteks dulu. Siapa pembaca aslinya? Untuk apa teks ini? Tanpa itu, kamu cuma menerjemahkan kata, bukan makna.

Tip-tip praktis biar ngakak dikit tapi tetap profesional

Oke, ini beberapa trik yang sering aku pakai dan bagikan ke teman-teman penerjemah baru. Pertama, buat glossary atau daftar istilah khusus proyek—ini penyelamat kalau kamu dapat dokumen 200 halaman yang penuh akronim dan istilah teknis. Kedua, manfaatkan Translation Memory (TM): jangan malu, ini bukan curang; ini efisiensi berkelas. Ketiga, selalu proofread dengan jeda waktu: mata manusia itu capek, jadi baca ulang setelah jedah kopi kedua. Keempat, jangan takut buat catatan penerjemah di footnote kalau perlu—kadang klien butuh penjelasan kenapa kamu memilih satu istilah.

Rahasia kecil: jangan jadi kamus jalanan

Salah kaprah terbesar? Literalitas. Banyak yang mikir ‘translate = word-for-word’. Hasilnya: teks yang kaku, awkward, atau malah lucu tak sengaja. Misalnya, “it’s raining cats and dogs” kalau diterjemahkan harfiah jadi “hujan kucing dan anjing” — siapa yang mau baca? Terjemahan yang baik menangkap register dan tujuan. Kalau teksnya iklan, terkadang kita perlu transcreation: bukan sekadar memindahkan kata, tapi memindahkan perasaan dan niat. Itu seni tersendiri, dan jujur, kadang bikin kepala cenat-cenut.

Waduh, ini bukan copy-paste: machine translation vs manusia

Mesin penerjemah sekarang oke banget buat draft kasar. Tapi jangan salah, mesin belum bisa ngerasain humor, sarkasme, atau ironi dengan sempurna—iya, bahkan yang katanya pakai AI canggih. Aku suka pakai mesin untuk speeding up pekerjaan: buat draft, lalu manusia yang poles. Bayangin mesin itu tukang roti yang adon, kita yang panggang dan kasih topping. Oh ya, kalau mau cek sumber-sumber komunitas penerjemah, aku sempat nemu beberapa referensi di cevirmenler yang lumayan membantu buat nambah perspektif tentang istilah dan gaya.

Buat yang kepo: alat penerjemah biasanya pakai apa sih?

Selain Google Translate (yang kadang kasih jawaban random), ada CAT tools: SDL Trados, memoQ, Wordfast, dan lainnya. Tools ini bikin kerjaan besar jadi teratur: segmentasi kalimat, memori terjemahan, dan integrasi glossary. Tapi ingat, alat bagus bukan jaminan hasil bagus. Sama kayak kamera mahal nggak otomatis bikin fotomu instagenic. Skill linguistik, rasa bahasa, dan kemampuan riset itu nggak tergantikan.

Salah kaprah soal ‘bahasa baik dan benar’

Banyak yang bilang, “Terjemahan bagus itu yang bahasa Indonesia-nya baku.” Padahal bukan soal baku atau nggak, melainkan kesesuaian register. Dokumen hukum memang perlu formal, tapi teks marketing butuh gaya yang hidup dan bicara ke hati. Jadi, tugas kita sering kali memilih nada bicara yang pas. Itu yang bikin penerjemah serupa sutradara suara: kita atur tone, mood, dan flow supaya pesan nyampe.

Keajaiban kecil saat terjemahan ‘nyambung’

Ada kalanya kamu menerjemahkan satu frasa dan tiba-tiba semuanya nyambung—rasanya seperti nemu remote yang hilang di sofa. Itu momen magis: kamu tahu pilihan diksi itu tepat karena pembaca target akan merasakan hal yang sama seperti pembaca sumber. Bukan cuma akurat, tapi juga natural. Pengalaman itu bikin capek terbayar lunas, dan percaya deh, kita senyum-senyum sendiri sambil tekan “kirim” ke klien.

Jadi, kalau kamu lagi mikir buat belajar menerjemahkan atau sekadar penasaran, mulai dari membaca banyak teks dalam bahasa target dan sumber, praktik terus, dan jangan malu tanya komunitas. Dunia penerjemahan itu luas, kadang absurd, tapi selalu penuh kejutan. Sampai jumpa di catatan harianku selanjutnya—siapa tahu aku lagi cerita soal klien yang minta terjemahan ‘dengan nuansa unicorn’.